Fenomena 'Retail Therapy' di Kalangan Generasi Muda Indonesia

Fenomena ‘Retail Therapy’ di Kalangan Generasi Muda Indonesia

shelifestyle.id – Belanja impulsif sering kali menggoda para konsumen, terutama generasi muda, untuk membeli barang-barang unik yang sebenarnya tidak diperlukan. Fenomena ini dikenal sebagai ‘retail therapy’, yang berpotensi membawa dampak signifikan pada keuangan serta kesehatan psikologis individu.

Dengan meningkatnya akses internet dan media sosial, perilaku ini semakin meningkat, mendorong banyak orang untuk mencari kepuasan melalui barang-barang yang mereka beli. Meski menyenangkan, penting untuk memahami dampak jangka panjang dari ‘retail therapy’.

Apa Itu Retail Therapy?

Retail therapy adalah istilah yang menggambarkan perilaku berbelanja bagi seseorang sebagai cara untuk mengatasi stres atau emosi negatif. Banyak yang merasa lebih baik setelah berbelanja, meski barang-barang yang dibeli tidak selalu digunakan.

Dalam konteks Indonesia, fenomena ini semakin menonjol seiring dengan meningkatnya akses internet dan media sosial, membuat orang lebih mudah untuk melihat dan membeli barang-barang menarik dari berbagai sumber.

Pengaruh Media Sosial terhadap Pembelian

Media sosial, terutama platform seperti Instagram dan TikTok, memberikan ruang bagi penjual untuk menampilkan produk dengan cara yang lebih atraktif. Hal ini menciptakan dorongan bagi pengguna untuk membeli barang-barang yang terlihat lucu dan menarik, bahkan ketika mereka tidak memerlukannya.

Perilaku ini memperkuat konsep ‘FOMO’ atau Fear of Missing Out, di mana individu merasa harus memiliki barang-barang tertentu agar tidak ketinggalan atau tampak kurang trendy di hadapan teman-temannya.

Dampak Jangka Panjang dari Belanja Impulsif

Belanja barang-barang lucu yang tidak terpakai dapat menyebabkan penyesalan setelah pembelian, terutama ketika melihat isi dompet yang semakin menipis. Ini bisa mengarah pada masalah finansial yang lebih besar jika pola belanja ini tidak diubah.

Selain dampak finansial, ada juga risiko psikis, di mana seseorang dapat merasa terjebak dalam siklus belanja yang tidak sehat, menjadi lebih cemas atau bahkan depresi akibat tekanan untuk terus membeli barang baru.

BACA JUGA:  Komet: Menelusuri Perbedaan Antara Komet Biasa dan Komet Antar-Bintang

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *